Den Bagus
MADZHAB SAHABAT
A. Pengertian Mazhab Sahabat
Secara etimologi Mazhab kata-kata mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba. Zahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya.
Dalam buku Nasrun Harun, mengungkapkan Mazhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat Rasulullah saw.” Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum.
B. Pendapat Ulama berkenaan dengan Kehujahan Mazhab Sahabat
Para Ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah bagi sahabat yang lain. Yang masih diperselisihkan ialah apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’in dan orang-orang sesudah mereka? Dalam hal ini ada 3 pendapat :
1. Menurut pendapat Jumhur, “pendapat para sahabat sama sekali tidak menjadi hujjah”. Terkadang perkataan mujtahid bukanlah suatu dalil yang dapat berdiri sendiri.
2. Menurut ulama Hanafiyah, Imam Malik, qoul qodim Imam Syafi’I dan Imam Ahmad Ibn Hanbal, “pendapat sahabat menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas, maka pendapat para sahabat harus didahulukan daripada qiyas.
3. Pendapat sahabat menjadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas.
Menurut As-syaukani, yang diperselisihkan disini ialah pendapat sahabat tentang masalah ijtihadiyah.
Yang benar ialah, bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujjah karena Tuhan tidak mengharuskan kita untuk mengikutinya. Kita hanya diperintah untuk mengikuti Al-qur’an dan sunnah Rasul. Ringkasnya, pendapat sahabat tidak menjadi hujjah.
C. Untung dan Rugi Menggunakan Mazhab Sahabat Dilihat dari Sudut Pengalaman Syari’at
Keuntungannya diantaranya:
1. Mempermudah dalam menetapkan hukum pada suatu masalah yang belum ditemukan dalam al-qur’an dan Hadist.
Kerugiannya diantaranya:
1. Dikhawatirkan fatwanya berdasarkan ijtihad pribadi.
2. Mengurangi keleluasaan dalam berijtihad.

SYARI’AT SEBELUM KITA
A. Pengertian Syari’at Sebelum Kita
Yang dimaksud dengan syari’at sebelum kita, ialah syari’at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Seperti syari’at Nabi Ibrahim AS, syari’at Nabi Musa AS, syari’at Nabi Daud AS, syari’at Nabi Isa AS dan sebagainya.
B. Pembagian Syari’at Umat Sebelum Kita
syari’at umat sebelum kita dibagi menjadi 2:
1. Syari’at yang telah dihapuskan oleh syari’at kita dan sudah tidak dijalankan lagi oleh kita.
2. Syari’at yang tidak dihapuskan oleh syari’at kita. Agian ini dibagi menjadi 2, yaitu:
a) Yang ditetapkan oleh syari’at kita
Bagian ini harus kita amalkan karena termasuk syari’at kita dan tidak ada perselisihan dalam hal ini.
b) Yang tidak ditetapkan oleh syari’at kita.
Bagian ini dibagi menjadi 2 bagian lagi, yaitu:
 Syari’at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian Al-Qur’an dan Hadits menerangkannya kepada kita.
 Syari’at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.
 Syari’at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, tetapi Al-Qur’an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
C. Beberapa Pendapat Para Ulama Berkenaan Dengan Kehujjahan Syari’at Sebelum Kita
Ada beberapa pendapat tentang hal ini, diantaranya :
1. Mayoritas kelompok Hanafi, sebagian pengikut Maliki dan Syafi’i berkata : hukum-hukum itu menjadi syari’at kita yang wajib kita ikuti dan kita terapkan selama telah diceritakan kepada kita dan dalam syari’at kita tidak ada dalil yang menggantinya. Karena hukum itu adalah hukum Tuhan yang diterapkan melalui para Rasul-Nya yang telah diceritakan kepada kita dan tidak ada dalil yang menggantinya, maka setiap mukallaf wajib mengikutinya. Oleh karena itu, ulama Hanafi menggunakan dalil atas pembunuhan, baik muslim maupun kafir, laki-laki maupun perempuan, dengan dasar kemutlakan firman Allah, an nafsa bin nafsi.
2. Sebagian ulama berkata: Hukum-hukum itu tidak menjadi syari’at kita, karena syari’at kita sifatnya mengganti syari’at-syari’at terdahulu, kecuali bila di dalam syari’at kita terdapat dalil yang menetapkannya.
Pendapat yang benar dan yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama, karena syari’at kita hanya mengganti syari’at umat sebelum kita yang tidak sesuai saja. Tetapi jika Al-Qur’an menceritakan kepada kita suatu hukum syara’ dari umat terdahulu tanpa ada penetapan penghapusan, maka secara tersirat adalah syari’at kita juga. Karena hukum itu sama-sama dari Allah yang disampaikan para rasul kepada kita dan tidak ada dalil yang menghapusnya, dan karena Al-Qur’an juga membenarkan kitab-kitab yang datang dari Allah, seperti Taurat dan Injil. Selama Al-Qur’an tidak mengganti hukum yang ada dalam kitab-kitab itu, maka hukum-hukum itu tetap syari’at kita.

Minggu, 15 Januari 2012

Madzhab Sahabat dan Syari'at Umat Sebelum Kita

Posted by Den Bagus | 0 komentar
MADZHAB SAHABAT
A. Pengertian Mazhab Sahabat
Secara etimologi Mazhab kata-kata mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba. Zahaba artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya.
Dalam buku Nasrun Harun, mengungkapkan Mazhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat Rasulullah saw.” Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum.
B. Pendapat Ulama berkenaan dengan Kehujahan Mazhab Sahabat
Para Ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah bagi sahabat yang lain. Yang masih diperselisihkan ialah apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’in dan orang-orang sesudah mereka? Dalam hal ini ada 3 pendapat :
1. Menurut pendapat Jumhur, “pendapat para sahabat sama sekali tidak menjadi hujjah”. Terkadang perkataan mujtahid bukanlah suatu dalil yang dapat berdiri sendiri.
2. Menurut ulama Hanafiyah, Imam Malik, qoul qodim Imam Syafi’I dan Imam Ahmad Ibn Hanbal, “pendapat sahabat menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas, maka pendapat para sahabat harus didahulukan daripada qiyas.
3. Pendapat sahabat menjadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas.
Menurut As-syaukani, yang diperselisihkan disini ialah pendapat sahabat tentang masalah ijtihadiyah.
Yang benar ialah, bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujjah karena Tuhan tidak mengharuskan kita untuk mengikutinya. Kita hanya diperintah untuk mengikuti Al-qur’an dan sunnah Rasul. Ringkasnya, pendapat sahabat tidak menjadi hujjah.
C. Untung dan Rugi Menggunakan Mazhab Sahabat Dilihat dari Sudut Pengalaman Syari’at
Keuntungannya diantaranya:
1. Mempermudah dalam menetapkan hukum pada suatu masalah yang belum ditemukan dalam al-qur’an dan Hadist.
Kerugiannya diantaranya:
1. Dikhawatirkan fatwanya berdasarkan ijtihad pribadi.
2. Mengurangi keleluasaan dalam berijtihad.

SYARI’AT SEBELUM KITA
A. Pengertian Syari’at Sebelum Kita
Yang dimaksud dengan syari’at sebelum kita, ialah syari’at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Seperti syari’at Nabi Ibrahim AS, syari’at Nabi Musa AS, syari’at Nabi Daud AS, syari’at Nabi Isa AS dan sebagainya.
B. Pembagian Syari’at Umat Sebelum Kita
syari’at umat sebelum kita dibagi menjadi 2:
1. Syari’at yang telah dihapuskan oleh syari’at kita dan sudah tidak dijalankan lagi oleh kita.
2. Syari’at yang tidak dihapuskan oleh syari’at kita. Agian ini dibagi menjadi 2, yaitu:
a) Yang ditetapkan oleh syari’at kita
Bagian ini harus kita amalkan karena termasuk syari’at kita dan tidak ada perselisihan dalam hal ini.
b) Yang tidak ditetapkan oleh syari’at kita.
Bagian ini dibagi menjadi 2 bagian lagi, yaitu:
 Syari’at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian Al-Qur’an dan Hadits menerangkannya kepada kita.
 Syari’at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.
 Syari’at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, tetapi Al-Qur’an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
C. Beberapa Pendapat Para Ulama Berkenaan Dengan Kehujjahan Syari’at Sebelum Kita
Ada beberapa pendapat tentang hal ini, diantaranya :
1. Mayoritas kelompok Hanafi, sebagian pengikut Maliki dan Syafi’i berkata : hukum-hukum itu menjadi syari’at kita yang wajib kita ikuti dan kita terapkan selama telah diceritakan kepada kita dan dalam syari’at kita tidak ada dalil yang menggantinya. Karena hukum itu adalah hukum Tuhan yang diterapkan melalui para Rasul-Nya yang telah diceritakan kepada kita dan tidak ada dalil yang menggantinya, maka setiap mukallaf wajib mengikutinya. Oleh karena itu, ulama Hanafi menggunakan dalil atas pembunuhan, baik muslim maupun kafir, laki-laki maupun perempuan, dengan dasar kemutlakan firman Allah, an nafsa bin nafsi.
2. Sebagian ulama berkata: Hukum-hukum itu tidak menjadi syari’at kita, karena syari’at kita sifatnya mengganti syari’at-syari’at terdahulu, kecuali bila di dalam syari’at kita terdapat dalil yang menetapkannya.
Pendapat yang benar dan yang lebih kuat adalah pendapat yang pertama, karena syari’at kita hanya mengganti syari’at umat sebelum kita yang tidak sesuai saja. Tetapi jika Al-Qur’an menceritakan kepada kita suatu hukum syara’ dari umat terdahulu tanpa ada penetapan penghapusan, maka secara tersirat adalah syari’at kita juga. Karena hukum itu sama-sama dari Allah yang disampaikan para rasul kepada kita dan tidak ada dalil yang menghapusnya, dan karena Al-Qur’an juga membenarkan kitab-kitab yang datang dari Allah, seperti Taurat dan Injil. Selama Al-Qur’an tidak mengganti hukum yang ada dalam kitab-kitab itu, maka hukum-hukum itu tetap syari’at kita.